Sumber: http://www.suratrakyat.com/article/LppUUbEIga7p____mitos-dan-pertanyaan-mengenai-ateisme
Ateisme adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi. Dalam kata lain, seorang ateis tidak memercayai adanya bentuk kesadaran yang biasa disebut Tuhan, dalam penciptaan alam semesta. Di negara-negara maju yang sekuler, keberadaan ateis bukanlah hal yang aneh. Bahkan, populasi ateis berkembang pesat karena adanya kebebasan berpikir, kemajuan teknologi, dan pengetahuan yang mudah didapat. Lalu bagaimana dengan ateis di Indonesia? Apakah ada manusia yang tidak percaya kepada Tuhan di negara yang memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia? Apakah menjadi ateis di Indonesia melanggar hukum dan tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila yang menjadi falsafah dasar kenegaraan?
Banyak sekali mitos yang salah mengenai seorang ateis. Cukup banyak masyarakat di Indonesia menanggap bahwa orang yang tidak memercayai keberadaan Tuhan adalah orang yang bebas tak terbatas, tidak mempunyai batasan-batasan moral, sehingga akan merugikan orang lain. Ada pula yang menganggap ateisme sama dengan komunisme atau seorang ateis pastilah komunis. Anggapan awam terhadap ateis ini ternyata banyak yang keliru. Hal ini disebabkan karena adanya stigma buruk mengenai ateisme sehingga penjelasan yang benar mengenai ateisme sulit didapat.
Tidak sedikit juga masyarakat yang bertanya-tanya mengenai ateisme. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai ateisme yang sering ditanyakan oleh masyarakat, yang saya coba jawab berdasarkan penjelasan dari narasumber dan observasi.
Apakah yang dimakud dengan ateisme?
Ateisme adalah ketidakpercayaan akan adanya Tuhan ataupun dewa-dewi. Terdapat berbagai alasan ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi, dari alasan saintifik, filosofis, maupun alasan humanisme. Setiap orang memiliki alasan ketidakpercayaan masing-masing. Yang menyamakan seorang ateis satu dengan lainnya hanyalah posisi yang sama, yaitu posisi ketidakpercayaan kepada Tuhan. Ateisme berasal dari kata ‘a-teisme’ yang merupakan negasi terhadap teisme. Banyak yang salah kaprah dengan menganggap bahwa ateisme berasal dari kata ‘ate-isme’ yang merupakan bentuk ‘isme’ atau ideologi. Kesalahan konsep ini yang sering membuat orang lain berpikir bahwa ateisme sama dengan isme-isme lain seperti agama.
Apakah orang ateis yang tidak percaya tuhan memiliki etika?
Moralitas dapat tercipta tanpa memercayai keberadaan Tuhan, moralitas sepenuhnya tidak tergantung pada Tuhan dan ajaran-ajaran agama. Itu berarti ateis tidak hanya lebih dari sekedar mampu menjalani kehidupan bermoral, mereka bahkan mungkin mampu menjalani hidup lebih bermoral ketimbang pemeluk agama yang mengaburkan hukum dan hukuman ilahi dengan benar dan salah.
Apa yang akan menghentikan Anda melakukan sesuatu yang buruk? Apakah jika tidak ada Tuhan anda akan melakukan sesuatu yang buruk? Apakah merupakan moralitas yang buruk jika seseorang hanya dapat bertindak menurut etika jika seseorang melakukannya karena takut atas hukuman atau janji imbalan?
Moralitas manusia tidak sebatas karena takut atas hukuman Tuhan dan pendambaan terhadap berkah Tuhan (dengan adanya dosa-pahala dan surga-neraka). Tidak hanya ateis, umat beragama sekalipun tidak melulu melakukan kebaikan hanya karena mendambakan surga atau takut pada murka Tuhan dan neraka. Sirkuit altruisme dan neuron cermin di otak manusia membantu manusia untuk mempunyai moralitas. Sirkuit altruisme membuat manusia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain, neuron cermin membuat manusia merasakan kesedihan yang diderita oleh orang lain sehingga melahirkan rasa empati. Dengan adanya sirkuit-sirkuit ini, manusia, baik yang beragama, percaya Tuhan ataupun tidak, dapat mempunyai moralitas. Lalu apakah seorang ateis pasti tidak pernah merugikan orang lain? Apakah seorang yang beragama pastilah mempunyai moralitas? Tentunya hal ini tergantung oleh orang yang bersangkutan.
Banyak yang menanyakan dari mana datangnya moralitas orang yang tidak beragama. Namun, sangat jarang menanyakan kepada diri sendiri, “Mengapa mereka memilih moralitas A atau B”, atau menanyakan “Apa alasan mereka bermoral?”. Apakah seorang bermoral atau memilih moral A karena takut hukuman Tuhan? Untuk orang yang tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan, moralitas adalah tindakan atau keputusan terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.
Apakah tujuan dan makna hidup bagi orang ateis?
Tujuan hidup orang-orang ateis sangat beragam dan tergantung pada visi hidup masing-masing. Tanpa ide tentang Tuhan dan kehidupan mendapatkan surga, tujuan hidup dapat lebih luas dan berwarna tanpa dikejar oleh batasan-batasan untuk mendapatkan tempat setelah kematian.
Memahami nihilistik dengan mengetahui bahwa kita akah kehilangan eksistensi setelah kematian, bukan berarti membuat kita sebagai manusia menjadi depresi dan ingin mengakhiri hidup. Ada atau tidak ada Tuhan, kita dapat memaknai hidup dengan hasrat-hasrat kita sendiri dan tidak hanya tujuan-tujuan apapun atau yang siapapun ciptakan bagi kita. Kita sendiri dapat memilih tujuan hidup kita dan menikmati hidup bersama individu lain dengan beraneka warna. Bahkan seorang yang beragama mempunyai cita-cita dan tujuan hidupnya sendiri.
Sophie, salah satu admin grup Indonesian Atheists di facebook, memberikan pandangan mengenai hidup dalam komentarnya di bawah ini.
“Hidup yang sangat sebentar membuat kita dapat menikmati pencapaian-pencapaian. Bayangkan, betapa membosankan hidup selama-lamanya yang membuat pencapaian kita nampak tidak berarti karena ada kesempatan yang tidak terbatas. Mengetahui bahwa hidup hanya sementara dan tidak akan selama-lamanya membuat hidup lebih menarik dan berarti”
Mungkin begitulah sebagian kaum ateis memaknai hidupnya
Bagaimana orang ateis menghadapi kematian?